arsMYMA #1
- mymafhunair
- Apr 29, 2021
- 5 min read
Kewajiban Vaksinasi COVID-19 : Melanggar Hak Asasi Manusia?
Oleh :
Ika Putri Rahayu
Staff Divisi Research and Development MYMA FH UNAIR
Setelah beredar kabar bahwa vaksin COVID-19 telah ditemukan, guna mempercepat penanggulangan COVID-19 di Indonesia, pemerintah menetapkan kebijakan pengadaan dan pelaksanaan vaksin COVID-19 melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Bahkan, dalam Perpres yang terbaru, yakni Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (selanjutnya disebut Perpes 14/2021), pemerintah telah mewajibkan vaksinasi COVID-19 bagi orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima COVID-19 berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan.[1]
Akibat hukum dari penetapan vaksinasi COVID-19 sebagai suatu kewajiban ialah pengenaan sanksi administratif bagi individu sasaran penerima vaksin COVID-19 yang tidak mengikuti vaksinasi COVID-19 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13A Perpres 14/2021. Sanksi administratif tersebut dapat berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan, dan/atau denda.[2] Bahkan, selain sanksi administratif, menurut Pasal 13B Perpres 14/2021, yang bersangkutan dapat pula dikenakan sanksi lainnya menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Mengacu pada Pasal 14 ayat (1) UU 4/1984, sanksi tersebut ialah pidana penjara maksimal 1 tahun, dan/atau denda maksimal 1 juta rupiah.
Kewajiban vaksinasi COVID-19 yang disertai dengan pemberian sanksi secara administratif dan/atau pidana ini kemudian menimbulkan diskursus karena dianggap mengintrusi hak atas integritas tubuh (physical integrity) atau melanggar kehidupan pribadi (private life).[3] Hak individu untuk menyetujui atau menolak tindakan medis yang akan dilakukan pada dirinya ditegaskan dalam Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang berbunyi “Setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan memahami informasi tindakan tersebut secara lengkap”. Selain itu, dalam hukum hak asasi internasional, menurut Universal Declaration on Bioethics and Human Rights, setiap tindakan intervensi medis kepada seseorang hanya dapat dilakukan dengan adanya persetujuan sebelumnya, bebas, dan terinformasi.[4]
Pada dasarnya, setiap hak asasi manusia memanglah wajib untuk dilindungi (protect), dipenuhi (fulfill), dan ditegakkan (enforce) oleh negara. Namun, dalam keadaan darurat (state emergency), dimungkinkan pembatasan dan pengurangan bagi hak-hak yang dapat dibatasi (derogable rights).[5] Sedangkan bagi hak-hak yang tidak dapat dibatasi (non derogable rights), pembatasan dan pengurangan hak tersebut tidak diperbolehkan sekalipun dalam kondisi darurat.[6] Menurut Pasal 4 ayat (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), non derogable rights meliputi hak hidup, hak bebas dari penyiksaan, bebas dari tindakan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat, hak bebas dari perbudakan, hak bebas dari undang-undang yang berlaku surut, serta kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Adapun karena tidak termasuk sebagai non derogable rights, maka hak individu untuk memberikan persetujuan yang bebas atas setiap tindakan intervensi medis yang dilakukan kepadanya merupakan derogable rights atau hak yang dapat dibatasi.
Tolak ukur pembatasan hak persetujuan sukarela atas tindakan medis tersebut dapat mengacu pada ketentuan hukum hak asasi manusia. Menilik pada Siracusa Principles, pembatasan HAM dapat dimungkinkan dalam keadaan darurat, dengan alasan yang sah (legitimate aim) yaitu salah satunya dengan tujuan untuk melindungi kesehatan publik dan hak orang lain, serta diatur berdasarkan hukum (prescribed by law).[7]
Justifikasi keadaan darurat dalam pembatasan hak untuk menolak vaksin COVID-19 telah dituangkan melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19 dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19. Selain itu, telah jelas pula adanya, bahwa tujuan dari kewajiban vaksinasi COVID-19 yang berimplikasi pada pembatasan hak untuk menolak vaksin, memiliki alasan yang sah (legitimate aim) yaitu melindungi kesehatan publik dari penyebaran COVID-19 yang kian masif dan berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan. Adapun syarat bahwa pembatasan HAM harus “diatur berdasarkan hukum” juga telah terpenuhi karena adanya beberapa instrumen hukum nasional dan internasional yang memberikan exit clause untuk membatasi hak menolak vaksinasi dalam keadaan darurat kesehatan nasional.
Dalam UU 36/2009 tentang Kesehatan sendiri, meskipun dalam Pasal 56 ayat (1) telah dijelaskan soal hak menerima atau menolak tindakan medis yang diberikan kepadanya, tetapi selanjutnya dalam Pasal 56 ayat (2) dikatakan bahwa hak menerima dan menolak ini tidak berlaku pada penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas. Maka dari itu, terkait dengan hak untuk menolak vaksin COVID-19 sejatinya dapat dibenarkan pembatasannya mengingat COVID-19 merupakan penyakit yang dapat menular secara cepat dan masif, apalagi dengan adanya mutasi virus corona B117 dan E484K akhir-akhir ini.[8] Universal Declaration on Bioethics and Human Rights sendiri juga sejatinya telah mengadakan celah pembatasan bagi hak memberikan persetujuan atas tindakan intervensi medis ketika hal demikian diperlukan pada kondisi yang luar biasa.[9] Pada akhirnya, dapat dikonklusikan bahwa hukum hak asasi manusia sendiri telah mengatur adanya pembatasan hak untuk menolak tindakan medis seperti vaksinasi COVID-19 mengingat adanya kondisi darurat penyebaran COVID-19 yang telah diumumkan secara sah oleh Presiden melalui prosedur hukum sebagaimana mestinya, adanya kebutuhan mendesak untuk melindungi hak publik atas kesehatan (legitimate aim), serta telah diatur berdasarkan instrumen hukum nasional maupun internasional (prescribed by law).
Guna semakin memantapkan keyakinan bahwa kewajiban vaksinasi COVID-19 sejatinya tidak melanggar HAM, maka perlu pula menilik putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa (ECHR) yang menyatakan bahwa vaksinasi COVID-19 merupakan sebuah kewajiban yang tidak melanggar hak asasi.[10] Putusan tersebut diambil setelah adanya protes ke pengadilan oleh para orang tua di Ceko terkait kewajiban vaksinasi bagi anak-anak. Menurut bunyi putusan pengadilan, kewajiban vaksinasi COVID-19 dibenarkan sebagai “kebutuhan dalam masyarakat demokratis”. Selain itu, hal ini juga sejalan dengan “kepentingan terbaik” bagi anak-anak dan “tujuannya adalah agar setiap anak terlindung dari penyakit serius”.
Bagaimanapun juga, pada akhirnya, meskipun kewajiban vaksinasi COVID-19 tidak melanggar HAM, tetapi Pemerintah tetap memiliki tugas dan kewajiban untuk melakukan sosialisasi terkait vaksinasi COVID-19 secara jelas dan merata. Harapannya, meskipun nomenklaturnya adalah “kewajiban”, tetapi pelaksanaan kewajiban tersebut dilakukan secara sukarela dan penuh kesadaran oleh masyarakat sehingga tercapailah tujuan untuk mempercepat penanggulangan COVID-19 di Indonesia.
---
[1] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Pasal 13A ayat (2).
[2] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), Pasal 13A ayat (4).
[3] Amiruddin al Rahab, ‘Vaksinasi dan Hak Asasi Mnusia’, (Koran Tempo, 2021), < https://koran.tempo.co/read/opini/462220/opini-vaksinasi-dan-hak-asasi-manusia-oleh-amiru ddin-al-rahab?>, accessed 26 April 2021.
[4] Universal Declaration on Bioethics and Human Rights, Pasal 6 ayat (1).
[5] Osgar S. Matompo, ‘Pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Keadaan Darurat’(2014) 21 Jurnal Media Hukum. [4].
[6] Ibid.
[7] Siracusa Principles on the Limitation and Derogation Provisions in the International Covenant on Civil and Political Rights.
[8] Muhammad Iqbal, ‘Warning Satgas Covid-19 : Varian E484K Lebih Cepat Menular’ (CNBC Indonesia, 2021), https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210401205719-37-234843/warning-satgas-covid-19- varian-e484k-lebih-cepat-menular, accessed 26 April 2021.
[9] Universal Declaration on Bioethics and Human Rights, Pasal 27.
[10] Redaksi Republika.com, ‘ECHR : Kewajiban Vaksinasi di Eropa Tidak Melanggar HAM’, (Republika.com, 2021), https://www.dw.com/id/echr-kewajiban-vaksinasi-di-eropa-tidak-melanggar-ham/a-57140083 >, accessed 26 April 2021.
DAFTAR BACAAN
Bahan Hukum
International Covenant on Civil and Political Rights.
Universal Declaration on Bioethics and Human Rights.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19.
Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran COVID-19.
Jurnal
Osgar S. Matompo, ‘Pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Keadaan Darurat’(2014) 21 Jurnal Media Hukum.
Internet
Amiruddin al Rahab, ‘Vaksinasi dan Hak Asasi Mnusia’, (Koran Tempo, 2021), < https://koran.tempo.co/read/opini/462220/opini-vaksinasi-dan-hak-asasi-manusia-oleh-amiru ddin-al-rahab?>.
Muhammad Iqbal, ‘Warning Satgas Covid-19 : Varian E484K Lebih Cepat Menular’ (CNBC Indonesia, 2021),
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210401205719-37-234843/warning-satgas-covid-19- varian-e484k-lebih-cepat-menular, accessed 26 April 2021.
Redaksi Republika.com, ‘ECHR : Kewajiban Vaksinasi di Eropa Tidak Melanggar HAM’, (Republika.com, 2021),
https://www.dw.com/id/echr-kewajiban-vaksinasi-di-eropa-tidak-melanggar-ham/a-57140083 >, accessed 26 April 2021.
Comments