top of page
Search

arsMYMA #15

  • Writer: mymafhunair
    mymafhunair
  • Oct 30, 2022
  • 5 min read

Menilik Tindakan Represif Aparat Mencederai HAM dalam Tragedi Kanjuruhan Disaster


Oleh :

Indriani Vicky Kartikasari

Anggota Divisi Research and Development MYMA FH UNAIR



Tulisan ini dilatarbelakangi oleh maraknya berita di sosial media atas tragedi yang baru saja terjadi di Stadion Kanjuruhan pada tanggal 1 Oktober 2022. Diketahui bahwa pada hari Sabtu (1/10/2022) telah berlangsung pertandingan sepakbola antara Arema FC dan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang. Dalam akhir laga pertandingan, Arema mengalami kekalahan atas Persebaya yang membuat beberapa suporter merasa kecewa dan turun ke lapangan untuk melakukan protes kepada pemain dan official. Atas tindakan beberapa suporter tersebut aparat kepolisian bergegas bertindak untuk mengamankan. Namun, aparat kepolisian menindak massa dengan tindakan-tindakan represif, mulai dari memukul, menendang, menghimpit menggunakan tameng, hingga melempar gas air mata. Bahkan, aparat kepolisian yang bertugas tidak hanya melempar gas air mata kepada suporter yang melakukan kerusuhan di dalam lapangan, tetapi juga ke arah tribun.


Dikutip dari unggahan video sosial media twitter @MataNajwa, diketahui adanya saksi tragedi atas nama Yohanes yang mendatangi salah satu aparat kepolisian yang sedang bertugas di dalam lapangan, memohon agar aparat kepolisian tidak melempar gas air mata ke arah tribun sebab banyak anak-anak dan ibu-ibu yang meminta tolong kesakitan, namun tidak direspon dengan baik. Gas air mata yang dilontarkan aparat kepolisian ke atas tribun yang masih dipenuhi penonton ini tentu membuat massa panik dan berhamburan mencoba keluar dari stadion. Banyak suporter yang sesak napas dan jatuh terinjak-injak ketika mencoba keluar dari arena pertandingan ini. Namun, naas dari 488 orang, 178 meninggal dan sisanya luka-luka


Berdasarkan tragedi di atas, tindakan aparat kepolisian dipenuhi dengan tindakan yang mencederai HAM sebab bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27-34 dan BAB XA Pasal 28A-J. Pasal 28A menjelaskan bahwa hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya merupakan hak dasar bagi setiap orang. Hak ini tidak dapat dibatasi atau disebut dengan non-derogable right. Lebih lanjut, Pasal 28I ayat (1) menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Makna yang sama dengan pasal ini juga termaktub dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


Mengenai kepolisian sendiri, UUD NRI 1945 dalam Pasal 30 ayat (1) menyatakan “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”, tindakan represif aparat pada tragedi Kanjuruhan justru berkebalikan dengan apa yang telah diatur dalam undang-undang. Aparat negara diciptakan sudah seyogyanya demi menegakkan hak asasi manusia sebagaimana bunyi asas “SALUS POPULI SUPREME LEX ESTO”, yakni keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. FIFA Stadium Safety and Security Regulation dalam Pasal 9 telah menegaskan adanya larangan penggunaan gas air mata dan senjata api di dalam stadion.

Universal Declaration of Human Right (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang telah diratifikasi Indonesia, Pasal 3 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Tindakan represif dan gas air mata yang dilontarkan polisi kepada suporter merupakan tindakan yang mengancam keselamatan mereka. Instrumen hukum internasional lain mengenai hak asasi manusia adalah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang disahkan Pemerintah melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR). Meskipun tidak dijelaskan secara eksplisit, ICCPR mengatur hak sipil dan politik diantaranya:

  1. Hak hidup;

  2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi;

  3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa;

  4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi;

  5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah;

  6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum;

  7. Hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama;

  8. Hak untuk berpendapat dan berekspresi;

  9. Hak untuk berkumpul dan berserikat;

  10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.

Dari tragedi Kanjuruhan terdapat pelanggaran terhadap hak hidup, dan hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi oleh aparat kepolisian kepada suporter. Berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang Polri, dalam Pasal 18 ayat (1) UU Polri Nomor 2 Tahun 2002 mengatur kewenangan mengenai “Diskresi Kepolisian”, dimana Polri memiliki wewenang untuk bertindak menurut penilaiannya sendiri dalam rangka kewajiban umumnya guna menjaga, memelihara, ketertiban dan menjamin keamanan umum, dan keabsahannya didasarkan pada pertimbangan keperluannya untuk pelaksanaan tugas dan kewajiban. Diskresi dalam Black Law Dictionary berasal dari bahasa Belanda “Discretionair” yang berarti kebijaksanaan dalam halnya memutuskan sesuatu tindakan tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan, Undang-undang atau hukum yang berlaku tetapi atas dasar kebijaksanaan, pertimbangan atau keadilan. Lebih lanjut, Pasal 18 ayat (2) UU Polri Nomor 2 Tahun 2002 mensyaratkan “Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Artinya, penggunaan tindakan represif sebagai manifestasi diskresi aparat kepolisian harus dengan kehati-hatian dan dalam keadaan yang mendesak. Situasi tersebut memperlihatkan bahwa saat ini POLRI dihadapkan pada situasi yang disebut the paradox of institusional position. Aparat kepolisian memiliki ruang yang luas untuk menjaga keamanan (human right protector), namun sifat dari keistimewaan ini justru kerap membuat unsur kewenangan dan kekuasaan diterjemahkan sepihak dan disalahgunakan, sehingga melahirkan pelanggaran hak asasi manusia.


Tindakan represif aparat kepolisian dalam mengamankan massa telah melanggar ketentuan-ketentuan berikut:

  1. Perkapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa

  2. Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

  3. Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI

  4. Perkapolri Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru Hara

  5. Perkapolri Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pengendalian Huru Hara

Mengamankan massa demi ketertiban adalah kewajiban aparat kepolisian, namun perlu ditegaskan bahwa prosedur dan tindakannya harus menjunjung tinggi hak asasi manusia dan undang-undang yang mengaturnya. Dari tragedi yang telah terjadi, dapat diambil pelajaran bahwa hukum memang dihadirkan demi memberikan kepastian, menegakkan keadilan, mengatur ketertiban, dan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat. Namun, peraturan tidaklah berarti apabila masyarakat sendiri tidak memiliki kesadaran untuk menaatinya.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


Daftar Bacaan


Jurnal

Auliannisa, Sarah Safira dan Athira Hana Aprilia. 2019. “Tindakan Represif Aparat Kepolisian terhadap Massa Demonstrasi: Pengamanan atau Pengekangan Kebebasan Berpendapat? ” dalam Padjadjran Law Review, Vol 7, Hal 26-37

Manalu, Sahata. 2020. “Analisis Yuridis Tindakan Diskresi Kepolisian pada Tahap Penyidikan” dalam Fiat Iustitia: Jurnal Hukum, Vol 1, Hal 109- 125. Medan: Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas

Pramadya Puspa, Yan. 1977. Kamus Hukum, Aneka, Semarang.



Peraturan Perundang-Undangan

UUD NRI 1945

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

Universal Declaration of Human Right (Deklarasi Universal Hak Asasi

Manusia)

Perkapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa

Perkapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara RI

Perkapolri Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tata Cara Lintas Ganti dan Cara Bertindak dalam Penanggulangan Huru Hara

Perkapolri Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pengendalian Huru Hara

FIFA Stadium Safety and Security Regulation

 
 
 

Recent Posts

See All
arsMYMA #17

Bentuk Penerapan 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Pada Hukum Acara Pidana Oleh : Aisyah Ramadhani Anggota Divisi Research and Development...

 
 
 
arsMYMA #16

Optimalisasi Perlindungan dan Pemenuhan Hak Pekerja Disabilitas Oleh : Shania Vivi Armylia Putri Anggota Divisi Research and Development...

 
 
 
arsMYMA #14

Kebijakan "BPJS Sebagai Syarat Pengurusan Administrasi dan Akses Pelayanan Publik" Membebani Masyarakat? Oleh : Wahdah Rosalina Lillah...

 
 
 

Comments


Speak and Write For Truth and Justice

bottom of page