arsMYMA #10
- mymafhunair
- Mar 4, 2022
- 4 min read
Mengkaji Konflik Rusia-Ukraina, Bagaimana Respon Indonesia?
Oleh :
Angeline Irene Santoso
Ketua Divisi Research and Development MYMA FH UNAIR
Rusia dan Ukraina merupakan negara perpecahan Uni Soviet. Sejak 24 Agustus 1991, Ukraina telah mendeklarasikan kemerdekaannya dan kemudian menjalin hubungan diplomatik dengan Rusia. Hubungan diplomatik antara Rusia dengan Ukraina dimulai pada 14 Februari 1992 dengan ditandatanganinya protokol pembentukan hubungan antar kedua negara tersebut. Kemudian, hubungan kedua negara tersebut berlanjut dengan disepakatinya suatu perjanjian persahabatan, kerja sama, dan kemitraan pada 31 Mei 1997 dan sekaligus melahirkan hubungan bilateral dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan militer. Selain itu,Ukraina dan Rusia memiliki hubungan yang erat terkait minyak dan gas alam. Di mana Ukraina mengandalkan pasokan gas dari Rusia serta menjadi jalur transit pasokan gas dari Rusia menuju Eropa. Namun demikian, hubungan bilateral ini mulai mengalami pergoncangan pada saat pergantian kepemimpinan yang terjadi membawa Ukraina ke arah Barat, pro-Eropa serta keinginan untuk menjadi anggota North Atlantic Treaty Organization (NATO) menyebabkan penurunan peran Rusia. NATO ditandatangani pada 4 April 1949 sebagai perjanjian keamanan antar-atlantik yang dapat menghalangi agresi Uni Soviet dan mencegah kebangkitan militerisme Eropa meletakkan dasar terhadap integrasi politik.
Ketegangan antara Rusia dengan Ukraina mulai terjadi kembali pada tahun 2014. Presiden Ukraina saat itu, Viktor Yanukovych, mengumumkan mundurnya Ukraina dari Perjanjian Asosiasi Uni Eropa. Hal ini kemudian memicu protes dari para mahasiswa di Kiev hingga mengakibatkan Presiden Yanukovych diturunkan dari jabatannya. Pasca insiden ini menyebabkan Ukraina terbagi menjadi dua pengaruh yaitu dari Barat dan Rusia. Merespon hal tersebut, dengan sigap Rusia melakukan intervensi terhadap Ukraina untuk menjaga eksistensi pengaruh Rusia di Eropa bagian Timur. Intervensi ini melahirkan ketegangan baru hingga mencapai puncaknya pada saat Ukraina menyatakan diri ingin bergabung ke dalam EU (European Union). Rusia menganggap bahwa perluasan EU ke Eropa Timur merupakan bentuk penghinaan terhadap kekuatan Rusia, maka dari itu Rusia terus melakukan intervensi dalam konflik Ukraina untuk memastikan eksistensi pengaruhnya tetap terjaga. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengatakan, bahwa cara terbaik untuk menyelesaikan konflik dan mencegah terjadinya ketegangan berkelanjutan yang berpotensi perang adalah dengan melakukan diplomasi dan dialog. Apabila permasalahan ini masih tetap berlanjut hingga memicu terjadinya perang, maka dapat berpotensi mengancam keselamatan masyarakat luas dan melahirkan dampak yang sangat luas pula baik bagi Eropa Timur maupun dunia secara global.
Pada tanggal 23 Februari 2022, Presiden Rusia, Vladimir Putin, melalui pidatonya mendeklarasikan perang dengan Ukraina. Selain itu, Vladimir Putin, menyampaikan bahwa Rusia sedang melakukan operasi militer khusus untuk mendemiliterisasi Ukraina. Tak lama kemudian, hanya berselang 1 (satu) hari tepat pada 24 Februari 2022, suara ledakan terdengar di ibu kota Ukraina, Kiev, dan kota-kota besar di Ukraina. Suara ledakan tersebut berasal dari bom yang dikirim oleh Rusia. Ledakan-ledakan bom tersebut menyebabkan warga Ukraina panik dan mencari perlindungan demi menyelamatkan diri masing-masing, seperti berlindung di stasiun bawah tanah.
Dalam waktu singkat, Rusia mampu menduduki wilayah-wilayah strategis, seperti bandara-bandara, markas-markas militer, dan pelabuhan. Dari aksi tersebut, sebenarnya terdapat hal yang diinginkan oleh Pemerintah Rusia misalnya adanya jaminan hukum bahwa NATO tidak akan menerima keanggotaan lagi. Tiga hari sejak dimulainya serangan dari Rusia, dilaporkan setidak-tidaknya terdapat 198 korban meninggal dunia dan 1.115 warga terluka. Selama berlangsungnya perang, Pemerintah menghimbau warga untuk meninggalkan Kota Kiev, tinggal di rumah, dan mencari tempat perlindungan yang aman. Guru Besar Hukum Internasional Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Ade Maman Suherman, menyimpulkan bahwa serangan Rusia ke Ukraina merupakan akumulasi permasalahan multidimensi sejak runtuhnya Uni Soviet yang menimbulkan krisis perdamaian dan keamanan global yang serius.
Indonesia menganut politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia sendiri merupakan pemrakarsa Gerakan Non-Blok bersama dengan India, Mesri, Yugoslavia, dan Ghana. Gerakan Non-Blok dibentuk melalui Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika pada tahun 1955 dengan tujuan untuk mencapai kesetaraan hak setiap bangsa dan ikut serta dalam memelihara perdamaian dunia. Gerakan Non-Blok ini lahir dari kekecewaan terhadap situasi bipolar, karena kesadaran bahwa negara-negara dunia ketiga tidak dalam posisi yang menguntungkan untuk melakukan konfrontasi dengan negara adikuasa akibat kesenjangan yang luar biasa, baik dalam aspek politik, militer, dan ekonomi. Dengan Gerakan Non-Blok, negara-negara anggota dapat menjalin persekutuan militer, bilateral atau multilateral sepanjang tidak terlibat dalam konflik antar negara adikuasa. Namun, Gerakan Non-Blok juga memiliki kekurangan, seperti tidak adanya organisasi yang permanen menimbulkan kesulitan dalam konsistensi Gerakan Non-Blok. Konferensi Tingkat Tinggi yang diadakan setiap 3 tahun sekali mengakibatkan kebijakan Non-Blok sering terputus dan berubah sesuai dengan interpretasi tuan rumah konferensi. Hal ini juga berimbas pada tidak adanya mekanisme penyelesaian konflik bagi negara-negara anggotanya.
Indonesia baik dengan Ukraina maupun Rusia menjalin hubungan bilateral yang baik. Namun, sebagai bagian dari Gerakan Non-Blok, Indonesia tidak dapat secara langsung membantu Ukraina maupun Rusia. Dalam perang ini,Indonesia sempat meminta agar Rusia mematuhi hukum internasional terkait kedaulatan wilayah suatu negara. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan bahwa “Indonesia menegaskan agar ditaatinya hukum internasional dan Piagam PBB mengenai integritas teritorial dan wilayah suatu negara, serta mengecam setiap tindakan yang nyata-nyata melanggar wilayah teritorial dan kedaulatan suatu negara”. Radityo Dharmaputra, Pakar Hubungan Internasional Universitas Airlangga, menyampaikan bahwa Indonesia harus mengutuk perbuatan Rusia karena jelas melanggar hukum internasional.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Daftar Bacaan
Jurnal
Hanifah, U. R. N. M. 2017. Embargo Ekonomi sebagai Strategi Konfrontasi Uni Eropa
terhadap Rusia pada Masa Konflik Ukraina 2013-2015. Jurnal Sosial Politik, 3(2),
169-195.
Sita Hidriyah. 2022. Eskalasi Ketegangan Rusia-Ukraina. Jurnal INFO Singkat. Vol XIV, No.
4/II/Puslit/Februari/2022 [8]
Soenarko, S. (1992). GERAKAN NON-BLOK: RELEVANSI DAN PERAN INDONESIA
DI MASA MENDATANG. Global: Jurnal Politik Internasional, 4 [17-22]
Tesis
Kamil, Muhamad Andrian. 2012. Tesis. North Atlantic Treaty Organization (NATO) Dalam
Perspektif Hukum Internasional, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia,
Juli 2012 [56]
Internet
BBC News. 2022. Mengapa Rusia menyerbu Ukraina dan apa yang diinginkan Putin dengan
meluncurkan ‘operasi militer khusus’?
CNN Indonesia. 2022. Pengamat: Ukraina Bantu Kemerdekaan RI, Indonesia Harus Tolong
<https://www.cnnindonesia.com/internasional/20220224193832-134-763760/pengamat- ukraina-bantu-kemerdekaan-ri-indonesia-harus-tolong>
Detik Jateng. 2022. Pakar Ungkap Sederet Dampak Perang Rusia-Ukraina Bagi Indonesia
Ramadhan, Maulana. 2022. Jumlah Korban Jiwa Selama Tiga Hari Serangan Rusia ke Ukraina
Reditya, Tito Hilmawan. 2022. POPULER GLOBAL: Rusia Umumkan Perang di KIEV
Septiana, Hana. 2022. Indonesia Bisa Lakukan Ini Terkait Rusia-Ukraina, Kutuk Hingga Bawa ke PBB
Comments