arsMYMA #2
- mymafhunair
- May 30, 2021
- 5 min read
PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI PALESTINA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
Oleh :
Anna Maria Herpuspaningtyas
Ketua Divisi Research and Development MYMA FH UNAIR
Akhir-akhir ini, masyarakat dunia digemparkan dengan berita-berita yang mewartakan eskalasi konflik di Palestina. Banyak pengeboman dan pengrusakan yang terjadi di beberapa wilayah Palestina, lebih-lebih di wilayah Gaza, yang telah memakan banyak korban, baik perempuan maupun anak-anak. Konflik antara Palestina dan Israel yang berkepanjangan ini dilatarbelakangi oleh sengketa tanah antara Israel dan Palestina di Yerusalem Timur. Aksi saling klaim ini berujung bentrok hingga Hamas dan Israel terlibat aksi saling kirim serangan udara. Bahkan, pada tanggal 12 Mei 2021, tepat malam hari menjelang perayaan Idul Fitri bagi umat muslim di Palestina, Israel menyerang penduduk Palestina di sekitar jalur Gaza menggunakan roket. Sebagai akibat dari eskalasi konflik yang terjadi, menurut laporan reporter AFP, terhitung hingga tanggal 21 Mei 2021, telah banyak korban yang berjatuhan baik dari pihak Palestina maupun Israel dan West Bank (tepi barat). Korban jiwa dari Palestina sendiri ada 248 warga dan 66 diantaranya adalah anak-anak sedangkan dari pihak Israel ada 12 korban jiwa, dan dari West Bank sendiri ada 25 warga Palestina, 4 diantaranya adalah remaja.[1]
Serangan membabi buta yang dilancarkan Israel terhadap Palestina tersebut banyak dikecam oleh masyarakat internasional, salah satunya adalah Indonesia . Melalui menteri luar negerinya, Retno LP Marsudi, Indonesia menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina ini merupakan penjajahan dan pelanggaran hukum internasional. Indonesia juga menolak keras terjadinya segala macam bentuk penjajahan di dunia. Hal demikian mengingat frasa pertama dalam alinea pertama pembukaan UUD NRI 1945 menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.[2]
Selain itu, apabila meninjau dalam tataran hukum internasional, Pasal 3 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang ditetapkan pada tanggal 10 Desember 1948, menyatakan bahwa:
“Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”
Pasal 3 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia telah sangat jelas menyatakan bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, mempunyai hak untuk hidup, bebas dan selamat sebagai individu. Namun, apa yang terjadi di Palestina akhir-akhir ini telah mengabaikan dan bahkan melanggar hak hidup yang dilindungi dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Padahal, sejatinya, hak hidup merupakan hak fundamental yang dimiliki setiap manusia dan harus dihormati, dijamin, dan dilindungi oleh setiap negara dan individu lainnya. Di samping itu, mengingat eksistensi hak hidup yang dikategorikan sebagai non derogable rights, maka tak seorangpun memiliki justifikasi untuk mencabut hak dasar tersebut.
Kemudian, selain menyalahi aturan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, perbuatan yang dilakukan Israel terhadap Palestina juga menyalahi Pasal 7 ayat (1) huruf j dan ayat (2) huruf h Statuta Roma yang menyatakan apa saja yang termasuk dalam “kejahatan terhadap kemanusiaan”, salah satunya adalah kejahatan apartheid. Kejahatan apartheid adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan dan bahwa perbuatan-perbuatan tidak manusiawi yang diakibatkan dari kebijakan-kebijakan dan praktek-praktek apartheid dan kebijakan-kebijakan serta praktek-praktek serupa mengenai pemisahan dan diskriminasi rasial.[3] Kejahatan apartheid oleh Israel terhadap Palestina dapat kita lihat melalui diskriminasi Israel terhadap Palestina dengan melarang warga Palestina yang hendak melaksanakan sholat di Masjid Al-Aqsa oleh tentara Israel. Perbuatan Israel tersebut dikategorikan sebagai kejahatan apartheid karena perbuatannya itu telah melarang warga Palestina secara diskriminasi untuk melaksanakan hak beribadahnya, serta adanya pandangan dari Israel yang menganggap dirinya lebih superior secara rasial dibandingkan dengan warga Palestina.
Selain terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Palestina seperti pelanggaran hak untuk hidup dan kejahatan apartheid, juga masih terdapat pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang menyangkut kelompok. Perlu kita ingat, bahwa penjajahan atau sengketa tanah antara Palestina dan Israel merupakan latar belakang dari konflik yang berkepanjangan ini. Pada dasarnya, setiap negara memiliki kemungkinan untuk mendapatkan, menambah, atau memperluas kekuasaan yang dimilikinya. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memperluas kekuasaan tersebut yakni melalui akresi, cessi, okupasi, preskripsi, dan aneksasi.[4] Dari kelima cara perolehan tersebut, cara yang dilakukan oleh Israel untuk mendapatkan kekuasaan di Palestina adalah melalui aneksasi. Aneksasi merupakan cara perolehan wilayah secara paksa berdasarkan pada dua kondisi. Pertama, wilayah negara yang dianeksasi telah dikuasai secara sempurna oleh negara yang menganeksasi. Kedua, pada saat suatu negara mengemukakan kehendaknya untuk menganeksasi suatu wilayah, wilayah tersebut telah nyata berada dibawah penguasaan negara yang menganeksasi. Kondisi yang pertama tidak semata-mata dapat dilakukan, tetapi tetap perlu diikuti dengan pernyataan resmi terkait maksud dan kehendak yang ditujukan kepada negara yang berkepentingan. Cara ini biasanya dilakukan pada saat terjadi peperangan, tetapi tidak menjamin hak kedaulatan atas wilayah bagi negara yang kalah beralih secara otomatis. Penggunaan cara ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada di piagam PBB.[5]
Penguasaan wilayah melalui cara aneksasi sebagaimana yang sedang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina saat ini sejatinya sejak tahun 1920 sudah tidak dibenarkan lagi menurut hukum internasional. Oleh karenanya, apabila sampai saat ini Israel masih melakukan penguasaan wilayah Palestina dengan cara aneksasi atau kekerasan atau peperangan, maka Israel pada hakikatnya telah menyalahi ketentuan hukum internasional. Kellogg-Briand Pact 1928 (Pakta Perancis) juga telah melarang perang sebagai instrumen kebijakan suatu negara. Menurut Kellogg-Briand Pact, saat ini adalah saat dimana negara menolak memberlakukan perang sebagai sarana kebijakan negara. Oleh karenanya, negara seharusnya lebih mengutamakan pemeliharaan hubungan damai serta bersahabat antara rakyat dan negara.[6]
Kewajiban negara-negara untuk mengupayakan penyelesaian segala bentuk konflik secara damai telah diatur dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, yang berbunyi:
“All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force
against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other
manner inconsistent with the Purposes of the United Nations”
Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB tersebut menyatakan bahwa PBB melarang tindakan mengancam atau menggunakan kekuasaan terhadap integrasi wilayah. Hal ini berarti bahwa anggota PBB harus dapat menahan diri untuk tidak menggunakan kekerasan atau ancaman guna dapat menguasai integritas wilayah atau negara lain. Israel sendiri, yang merupakan anggota dari PBB, sudah sepatutnya mematuhi aturan tersebut, bukannya malah melanggar dengan menganeksasi Palestina di bawah todongan senjata dan meriam. Akibatnya, aneksasi yang dilakukan Israel saat ini telah memakan banyak korban, baik perempuan maupun anak-anak, sehingga tergolong dalam pelanggaran hak asasi manusia juga.
Maka dari itu, masyarakat internasional dan juga PBB selaku organisasi perdamaian dunia harus berperan aktif dalam penanganan konflik antara Israel dan Palestina guna melindungi hak-hak asasi manusia yang dilanggar. Selain itu, terhadap tindakan Israel yang bertentangan dengan hukum internasional harus segera diupayakan penyelesaiannya berdasarkan ketentuan dalam hukum internasional supaya keadilan dapat terwujud.
---
[1] Wilda Asmarini, ‘Simak, Ini Total Korban Jiwa dan Kerusakan Perang Gaza’, (CNBC Indonesia, 22 Mei 2021) <https://www.cnbcindonesia.com/news/20210522063322-4-247514/simak-ini-total-korban-jiwa-dan-kerusakan-perang-gaza>, diakses 22 Mei.
[2] Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
[3] Referensi Elsam, ‘Konvensi Internasional Mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid’, (Referensi Elsam, 13 Mei 2015)
<https://referensi.elsam.or.id/2015/05/konvensi-internasional-mengenai-penindasan-dan-penghukuman-kejahatan-apartheid/>, diakses 27 Mei.
[4] Naashihul Umam, ‘Penguasaan Wilayah Palestina Oleh Israel Dalam Perspektif Hukum Internasional’(2019) 25 Dinamika.[6]
[5] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (PT Alumni 2015).[168].
[6] Naashihul Umam, op.cit.[8].
DAFTAR BACAAN
Peraturan Perundang-undangan
Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia.
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Statuta Roma
Internet
Tim detikcom, ‘Menlu Retno: Agresi Israel ke Palestina Pelanggaran Berat Hukum Internasional’ (Detikcom, 2021), <https://news.detik.com/berita/d-5577187/menlu-retno-agresi-israel-ke-palestina-pelanggaran-berat-hukum-internasional>
Tim detikcom. ‘Sejarah Palestina dan Israel dari Masa ke Masa’ (Detikcom, 2021),
Saputra Fery, ‘3 Kejahatan Internasional Israel kepada Palestina Menurut Pakar Hukum Unair’, (HaiGrid, 2021), <https://hai.grid.id/read/072709794/3-kejahatan-internasional-israel-kepada-palestina-menurut-pakar-hukum-unair?page=all>
Hrw, ‘Kebijakan Israel yang Semena-mena Merupakan Kejahatan Apartheid dan Persekusi’ (HrwOrg, 2021),
Jurnal
Umam Naashihul , ‘Penguasaan Wilayah Palestina Oleh Israel Dalam Perspektif Hukum Internasional’(2019) 25 Dinamika.
Comments