arsMYMA #3
- mymafhunair
- Jul 12, 2021
- 6 min read
Penetapan Instruksi Menteri Dalam Negeri tentang Pemberlakuan Pembatasan Kesehatan Masyarakat (PPKM) Covid-19 : Bagaimana Keabsahannya?
Oleh :
Elsa Ardhilia Putri
Staff Divisi Research and Development MYMA FH UNAIR
Untuk pertama kalinya pada akhir Maret 2020, pemerintah Indonesia merespon penyebaran kasus Corona Virus Disease 19 (Covid-19) yang kian meningkat dan masif dengan menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Diasase 19 (Covid-19) sekaligus Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).[1] Kedua aturan tersebut tak lain merupakan kewenangan atributif pemerintah pusat, yakni berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan). Pada dasarnya, di dalam UU Kekarantinaan Kesehatan sendiri telah memberikan opsi tindakan kekarantinaan kesehatan yang dapat dipilih oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan Covid-19, antara lain yaitu karantina wilayah dan PSBB sebagai respon pasca diberlakukannya penetapan status kedaruratan kesehatan masyarakat. Sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memberikan perlindungan atas hak kesehatan bagi masyarakat agar terhindar dari Covid-19, pemerintah pun memutuskan untuk menerapkan PSBB. Mulai dari PSBB, PSBB transisi, hingga PSBB ketat. Pemberlakuan PSBB tersebut dimohonkan oleh pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota kepada Kementerian Kesehatan untuk selanjutnya diambil keputusan apakah PSBB di suatu daerah dapat diterapkan atau tidak.
PSBB bukan satu-satunya kebijakan yang secara konsisten terus-menerus digunakan oleh pemerintah. Evaluasi implementasi kebijakan PSBB yang berimplikasi baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya bahkan dinilai belum efektif untuk menekan laju angka penularan Covid-19 di Indonesia. Hal ini membuat pemerintah kemudian menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). PPKM tersebut pada perkembangannya terbagi menjadi PPKM Jawa-Bali[2], PPKM Mikro[3] dan baru-baru ini adalah PPKM Darurat Jawa-Bali.[4] Berbeda dengan PSBB yang pemberlakuannya perlu dimohonkan oleh pemerintah daerah kepada pemerintah pusat terlebih dahulu, PPKM merupakan arahan dari Presiden yang diinstruksikan langsung di bawah Menteri Dalam Negeri. Artinya, PPKM ditetapkan secara langsung oleh pemerintah pusat dan pemerintah pusat bisa langsung menentukan daerah-daerah mana saja yang akan menjalankan PPKM berdasarkan berbagai indikator.[5] Selain itu, arahan langsung dari pemerintah pusat memiliki maksud agar tercipta sinergitas dan keterpaduan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di dalam menetapkan kebijakan penanganan Covid-19. Walaupun demikian, adanya perbedaan tersebut perlu dikritisi sebab istilah PPKM yang berlandaskan dari Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) bukan merupakan alternatif respon dari status kedaruratan kesehatan masyarakat yang diatur di dalam UU Kekarantinaan Kesehatan. Dengan demikian, maka perlu ditelusuri lebih jauh lagi tentang bagaimana eksistensi serta termasuk ke dalam jenis produk hukum apa Inmendagri atau instruksi menteri. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan apakah pemerintah dalam menetapkan kebijakan PPKM telah menggunakan suatu dasar hukum yang jelas sehingga tidak terjadi adanya penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Instruksi berarti suatu perintah yang dikeluarkan oleh pimpinan dan bertujuan untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Instruksi sejatinya termasuk ke dalam jenis produk hukum yaitu peraturan kebijakan (beleidsregel). Di dalam ketentuan Pasal 7 dan 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-undangan sendiri tidak mengatur instruksi menteri termasuk ke dalam jenis peraturan perundang-undangan. Peraturan kebijakan dibentuk oleh pejabat administrasi negara atau pejabat pemerintahan untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintah. Eksistensi dari peraturan kebijakan merupakan konsekuensi atas negara hukum kesejahteraan yang membebankan tugas yang sangat luas, yaitu menyelenggarakan kesejahteraan rakyat (welfare state) kepada pemerintah. Tugas-tugas pemerintahan dapat diselenggarakan jika pemerintah diberi kebebasan untuk mengambil kebijakan sesuai dengan situasi dan kondisi faktual. Kebijakan-kebijakan tersebut yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk peraturan-peraturan kebijakan.[6] Kebebasan bertindak pemerintah dalam membentuk suatu peraturan kebijakan tidak bermaksud menyalahi asas legalitas sebagai konsekuensi dari asas negara hukum. Kondisi tersebut biasanya dilakukan karena hukum positif sebagai instrumen hukum tindakan pemerintah belum mengakomodir penyelesaian masalah secara konkrit yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa kebebasan bertindak pemerintah dapat membuka peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh Pemerintah sehingga berpotensi merugikan hak-hak masyarakat.
Di dalam hukum administrasi, kebebasan bertindak pemerintah dapat disebut diskresi (discretionary power). Diskresi yang berupa keputusan dan/atau tindakan oleh pejabat yang berwenang bertujuan untuk melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.[7] Pejabat pemerintahan yang berwenang dapat melaksanakan diskresi dengan syarat:[8]
Sesuai dengan tujuan diskresi;
Tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
Tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
Dilakukan dengan iktikad baik.
Realisasi kewenangan diskresi oleh pemerintah sebagaimana dari penjelasan di atas tidak dilakukan dalam arti sebebas-bebasnya, tetapi telah tegas diatur secara limitatif sehingga menghindari kesewenang-wenangan oleh setiap pemangku kepentingan di pemerintahan.
Bahwa juga perlu diperhatikan, sifat yang dimiliki peraturan kebijakan sebagai bagian dari diskresi pemerintah memiliki sifat yang berbeda dengan peraturan perundang-undangan. Peraturan kebijakan tidak bersifat mengatur (regeling) sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tidak berlaku secara umum. Akan tetapi, menurut Bagir Manan, peraturan kebijakan memiliki relevansi hukum. Peraturan kebijakan pada dasarnya ditujukan dan dilaksanakan oleh internal atau antar lembaga pemerintahan itu sendiri. Meskipun demikian, peraturan kebijakan secara tidak langsung akan dapat mengenai masyarakat umum sehingga masyarakat tidak dapat berbuat lain kecuali mengikutinya.[9] Peraturan kebijakan juga tidak dapat diuji karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuatnya. Oleh karena itu, pemerintah wajib membuat peraturan kebijakan karena segala tindakan pemerintah harus ada dasar hukum yang sah. Bahkan, perlu kehati-hatian di dalam merumuskan ketentuan-ketentuan di dalam peraturan kebijakan, seperti sanksi yang diatur dilarang memuat sanksi pidana. Hanya dalam jenis peraturan, yakni undang-undang dan peraturan daerah sajalah, substansi yang mengandung sanksi pidana itu dapat diatur. Sebab, pengenaan sanksi pidana sangat erat kaitannya dengan degradasi hak asasi manusia sehingga diperlukan pengaturan yang memiliki kekuatan hukum mengikat dan mendapat legitimasi dari rakyat atau perwakilannya.
Dari uraian di atas, penetapan kebijakan PPKM dalam bentuk instruksi menteri adalah suatu hal yang wajar di dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan. Sebab, kondisi pandemi Covid-19 sebagai wabah penyakit menular yang perlu direspon dengan cepat dan tanggap. Namun, tetap perlu diperhatikan bahwa prosedur pembentukan dan muatan yang diatur di dalam Inmendagri tentang PPKM tidak boleh bertentangan dengan syarat diskresi sebagaimana diatur secara limitatif di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu, muatan yang diatur juga harus sesuai dengan batas-batas yang ditetapkan di dalam peraturan perundang-undangan terkait untuk menjamin kepastian hukum dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Sejatinya, selain PPKM pemerintah masih dapat memilih opsi kebijakan lainnya yang ditawarkan UU Kekarantinaan Kesehatan, seperti kebijakan karantina wilayah. Opsi ini ditengarai dapat lebih menjamin pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat selama pembatasan mobilitas sosial sebab terdapat tanggung jawab dari pemerintah pusat dengan melibatkan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina selama proses karantina berlangsung.[10] Bagaimanapun juga, pemerintah telah memutuskan untuk menetapkan kebijakan PPKM yang dikemas dalam produk hukum Inmendagri. Alternatif kebijakan apapun yang diambil oleh Pemerintah pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya serta pertimbangan-pertimbangan lainnya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.
[2] Melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
[3] Pertama kali melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 03 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat berbasis Mikro dan Pembentukkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 dan telah diperbarui dan diperpanjang melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2021.
[4] Melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 18 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali.
[5] TEMPO.CO, “Luhut Jelaskan Beda PPKM Darurat dan PSBB Setelah Dikritik Gonta-Ganti Istilah”, <https://www.google.com/amp/s/bisnis.tempo.co/amp/1480459/luhut-jelaskan-beda-ppkm-darurat-dan-psbb-setelah-dikritik-gonta-ganti-istilah>, diakses pada 10 Juli 2021.
[6] Eric, Wening Anggraita. “Perlindungan Hukum atas dikeluarkannya Peraturan Kebijakan (Beleidsregel)”, Jurnal Komunikasi Hukum, Vol 7 No. 1, Februari 2021, h. 467.
[7] Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[8] Pasal 24 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
[9] Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan RI, “Kedudukan Aturan Kebijakan (Surat Edaran, Instruksi, Petunjuk Teknis) dalam Hukum Positif di Indonesia”, <https://bppk.kemenkeu.go.id/content/berita/pusdiklat-pajak-kedudukan-aturan-kebijakan-surat-edaran-instruksi-petunjuk-teknis-dalam-hukum-positif-di-indonesia--2019-11-05-64fb4d82/ >diakses pada 10 Juli 2021
[10] Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
DAFTAR BACAAN
Dasar Hukum
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 01 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019.
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 03 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat berbasis Mikro dan Pembentukkan Posko Penanganan Corona Virus Disease 2019 di Tingkat Desa dan Kelurahan untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 yang telah diperbarui melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2021.
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 18 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Darurat Corona Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali.
Jurnal
Eric, Wening Anggraita, ‘Perlindungan Hukum atas dikeluarkannya Peraturan Kebijakan (Beleidsregel)’ (2021) 7 Jurnal Komunikasi Hukum.
Internet
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan RI, ‘Kedudukan Aturan Kebijakan (Surat Edaran, Instruksi, Petunjuk Teknis) dalam Hukum Positif di Indonesia’ (2014), <https://bppk.kemenkeu.go.id/content/berita/pusdiklat-pajak-kedudukan-aturan-kebijakan-surat-edaran-instruksi-petunjuk-teknis-dalam-hukum-positif-di-indonesia--2019-11-05-64fb4d82/>
TEMPO.CO, ‘Luhut Jelaskan Beda PPKM Darurat dan PSBB Setelah Dikritik Gonta-Ganti Istilah’ (TEMPO.CO 2021), <https://www.google.com/amp/s/bisnis.tempo.co/amp/1480459/luhut-jelaskan-beda-ppkm-darurat-dan-psbb-setelah-dikritik-gonta-ganti-istilah>
Comments