arsMYMA #8
- mymafhunair
- Jan 3, 2022
- 5 min read
Meneropong Demokrasi Thailand Sepanjang Pandemi: Antara Raja, Rakyat, dan Virus
Oleh :
Rahadyan Fajar Harris
Staff Divisi Research and Development MYMA FH UNAIR
Tanggung jawab negara terhadap penanganan pandemi saat ini telah menjadi parameter kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tentunya hal ini menjadi tantangan besar bagi negara-negara di dunia dalam menekan angka penularan virus COVID-19. Bagaimana tidak? Mengingat keterbatasan stok vaksin dan pemberlakuan serangkaian kebijakan pembatasan sosial, seperti lock down dan work from home yang secara langsung mengubah cara hidup masyarakat tentunya tidak akan berjalan dengan mudah. Tak jarang dalam upaya tersebut pemerintah menemui kebuntuan penanganan yang akhirnya memicu protes dari rakyat akibat lambannya penanganan pandemi.
Sepanjang 2020 telah tercatat bahwa kenaikan demonstrasi di seluruh dunia meningkat 7%. [1] Dalam hal ini, salah satu negara yang terus mengalami gelombang demonstrasi masif sepanjang pandemi ialah Thailand, terhitung sejak 18 Juli 2020 hingga kini. Lambannya penanganan pandemi dan tuntutan mengakhiri lockdown menjadi alasan utama. Selain itu, terdapat pula tiga tuntutan lain yang diusung oleh para demonstran Thailand, yakni pembubaran parlemen, mengakhiri intimidasi terhadap rakyat, dan penyusunan konstitusi baru.[2]
Munculnya tuntutan tersebut adalah muara dari adanya berbagai tindakan sewenang-wenang rezim junta militer Thailand, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Jendral Prayut Chanocha. Selama pandemi berlangsung, telah terjadi 4 kali fase demonstrasi terhadap pemerintah monarki, yang selalu diikuti lebih dari 2000 peserta.[3] Demonstrasi tersebut juga selalu diiringi dengan beragam aksi kekerasan, seperti penangkapan dan penghilangan paksa.[4] Thai Lawyers for Human Rights (TLHR) melaporkan bahwa petugas kepolisian memasuki sekolah-sekolah untuk mengintimidasi siswa dengan mengambil foto dan menanyai anak-anak yang berpartisipasi dalam protes demonstrasi. Pejabat juga menekan keluarga siswa. Setidaknya, tercatat sebanyak 103 insiden pelecehan dalam operasi tersebut.[5]
Belum lagi, hal paling krusial dalam perjalanan protes demonstrasi di Thailand ialah adanya pasal karet ‘Lèse-majesté’. Pasal tersebut adalah pasal yang memberikan perlindungan kehormatan martabat dan nama baik monarki Thailand, khususnya keluarga kerajaan. Pasal ini terdapat dalam Pasal 112 KUHP Thailand, yang menyatakan bahwa “Siapa pun, mencemarkan nama baik, menghina atau mengancam Raja, Ratu, Pewaris atau Bangsawan, akan dihukum dengan penjara tiga sampai lima belas tahun”. Dalam hal ini, tidak terdapat definisi yang jelas mengenai frasa “mencemarkan nama baik, menghina atau mengancam” tersebut sehingga setidaknya 382 orang, termasuk 13 anak-anak, telah didakwa atas protes sejak Juli 2020.[6]
Secara yuridis, eksistensi Pasal 112 KUHP Thailand ini ialah turunan dari Pasal 6 Konstitusi Thailand 2017, yang menyatakan bahwa “Raja harus diposisikan untuk dipuja dan dihormati serta tidak boleh ditentang.[7] Tidak ada orang yang diperbolehkan mengusik Raja dengan segala jenis tuduhan atau tindakan”. Kedua instrumen yuridis inilah yang disebut sebagai lèse-majesté law yang telah merusak sendi-sendi demokrasi Thailand. Serta memenjarakan ratusan warga sipil dengan tuduhan penghinaan kepada keluarga kerajaan.
Sebagai contoh, Anchan Preelert, seorang mantan pegawai negeri berusia 60 tahun, dijatuhi hukuman yang diyakini sebagai hukuman terberat di negara itu di bawah ketentuan lèse-majesté, karena dilaporkan telah memposting video di facebook yang mengkritik monarki di tahun 2015.[8] Dia awalnya diadili di pengadilan militer dan dijatuhi hukuman 87 tahun penjara. Hukumannya dikurangi setengahnya, yakni 43 tahun, ketika dia mengakui dugaan pelanggaran setelah kasusnya dipindahkan ke pengadilan sipil pada pertengahan 2019.
Menanggapi memburuknya demokrasi Thailand di bawah rezim lèse-majesté law selama pandemi, komunitas internasional mendorong Thailand untuk mereformasi hukum lèse-majesté. Dua belas negara, yakni Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Jerman, Luksemburg, Norwegia, Swiss, Swedia, dan Amerika Serikat, telah merekomendasikan untuk memodifikasi Pasal 112 dari berbagai perspektif:. Selain itu, beberapa negara Asia dan berkembang juga berbagi keprihatinan mereka, termasuk Afghanistan, Jepang, Mongolia, Korea Selatan, dan Timor-Leste.[9]
Rekomendasi mereka dapat dibagi menjadi tiga kategori. Pertama, Kanada, Prancis, Jerman, Luksemburg, Swiss, dan Amerika Serikat merekomendasikan modifikasi undang-undang tersebut untuk menjamin kebebasan berekspresi dan hak berkumpul (berkaitan dengan protes yang sedang berlangsung yang menyerukan reformasi monarki). Amerika Serikat juga merekomendasikan penghapusan hukuman minimum wajib untuk pelanggaran lèse-majesté. Kedua, Belgia, Norwegia, dan Swedia menganjurkan amandemen Pasal 112 untuk membawa Thailand agar sesuai dengan standar internasional di bawah ICCPR. Ketiga, Austria, Denmark, dan Finlandia menyerukan diakhirinya penangkapan dan penuntutan anak-anak berdasarkan Pasal 112 dan penghormatan terhadap Konvensi Hak Anak.[10]
Dalam menghadapi tekanan internasional, pemerintah Thailand tidak memberikan konsesi untuk mempertahankan Pasal 112 KUHP Thailand. Hal ini didasarkan pada paradigma bahwa monarki adalah "pilar utama negara yang sangat dihormati oleh rakyat Thailand". Bahkan, alih-alih fokus memerangi komunitas yang memprotes, pemerintah Thailand beranggapan bahwa seharusnya mereka dapat lebih fokus merumuskan kebijakan sosial yang responsif. Misalnya, mempercepat vaksinasi, memberikan bantuan dan subsidi sosial, membuka pekerjaan alternatif online, dan akses yang sama terhadap peluang kesehatan dan rehabilitasi.
Maka dari itu, patut disadari jika pandemi adalah ujian bagi seluruh dunia. Penghormatan terhadap hak asasi manusia di seluruh spektrum, termasuk hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipil dan politik, menjadi fundamental bagi keberhasilan respons kesehatan masyarakat dan pemulihan dari pandemi. Kondisi pandemi saat ini tidaklah dapat dibenarkan bagi setiap negara untuk membuat kebijakan yang bersifat represif dan melanggar HAM. Sebaliknya, hal tersebut seharusnya menjadi sebuah evaluasi untuk kembali melihat peristiwa COVID-19 sebagai isu kesehatan masyarakat yang berdampak pada kesejahteraan sosial. Hal ini karena ancaman yang nyata ialah virus, bukan masyarakat.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Samantha Kiernan, et.al., 'Pandemic Protest: When Unrest and Instability Go Viral' (Think Global Health, 28 Juli 2021),< https://www.thinkglobalhealth.org/article/pandemic-protests-when-unrest-and-instability-go-viral> , diakses pada 26 November 2021.
[2] Reuters, 'Explainer: What Behind Thailand's Protest?' (Reuters, 20 Oktober 2020), https://www.reuters.com/article/us-thailand-protests-reasons-explainer , diakses pada 26 november 2021.
[3] Dikelola dari berbagai sumber; Prachatai, ‘Apologies, demands made at first anti-dictatorship overnight protest’ (Prachatai, 29 Agustus 2020), https://prachatai.com/english/node/8755, diakses pada 24 Desember 2021.
[4] Termsak Chalermpalanupap, ‘2021/19 “Thailand’s Lèse Majesté Dilemma: Defending the Monarchy versus Silencing Critics and Alienating the Young”, (ISEAS Yusof Ishak Institute, 26 Februari 2021), < https://www-iseas-edu-sg/articles-commentaries/iseas-perspective/2021-19-thailands-lese-majeste-dilemma-defending-the-monarchy-versus-silencing-critics-and-alienating-the-young-by-termsak-chalermpalanupap>, diakses pada 24 Desember 2021.
[5] Supitcha Chailom, ‘Human Rights Watch World Report 2020 Event: Thailand’, < https://www-hrw-org/world-report/2021/country-chapters/thailand> , diakses pada 24 Desember 2021.
[6] Deutsche Welle, ‘Thailand: Hundreds protest lese majeste law in Bangkok’, < https://www-dw-com/thailand-hundreds-protest-lese-majeste-law-in-bangkok>, diakses pada 24 Desember 2021.
[7] Konstitusi Thailand 2017, < https://www.constituteproject.org/constitution/Thailand_2017.pdf?lang=en>, diakses pada 24 Desember 2021.
[8] Irene Khan, et. al, ‘Thailand: UN experts alarmed by rise in use of lèse-majesté laws’, (OHCHR, 8 Februari 2021), < https://www-ohchr-org/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?News>, diakses pada 24 Desember 2021.
[9] Irene Khan, et. al, ‘Thailand: UN experts alarmed by rise in use of lèse-majesté laws’, Ibid.
[10] Ibid.
DAFTAR BACAAN
Dasar Hukum
Konstitusi Thailand 2017, < https://www.constituteproject.org/constitution/Thailand_2017.pdf?lang=en>, diakses pada 24 Desember 2021.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Thailand
Internet
Chailom, Supitcha, ‘Human Rights Watch World Report 2020 Event: Thailand’, < https://www-hrw-org/world-report/2021/country-chapters/thailand> , diakses pada 24 Desember 2021.
Chalermpalanupap, Termsak, ‘2021/19 “Thailand’s Lèse Majesté Dilemma: Defending the Monarchy versus Silencing Critics and Alienating the Young”, (ISEAS Yusof Ishak Institute, 26 Februari 2021), < https://www-iseas-edu-sg/articles-commentaries/iseas-perspective/2021-19-thailands-lese-majeste-dilemma-defending-the-monarchy-versus-silencing-critics-and-alienating-the-young-by-termsak-chalermpalanupap>, diakses pada 24 Desember 2021.
Deutsche Welle, ‘Thailand: Hundreds protest lese majeste law in Bangkok’, < https://www-dw-com/thailand-hundreds-protest-lese-majeste-law-in-bangkok>, diakses pada 24 Desember 2021.
Khan, Irene, et. al, ‘Thailand: UN experts alarmed by rise in use of lèse-majesté laws’, (OHCHR, 8 Februari 2021), < https://www-ohchr-org/NewsEvents/Pages/DisplayNews.aspx?News>, diakses pada 24 Desember 2021.
Kiernan, Samanta, et.al., 'Pandemic Protest: When Unrest and Instability Go Viral' (Think Global Health, 28 Juli 2021),< https://www.thinkglobalhealth.org/article/pandemic-protests-when-unrest-and-instability-go-viral> , diakses pada 26 November 2021.
Prachatai, ‘Apologies, demands made at first anti-dictatorship overnight protest’ (Prachatai, 29 Agustus 2020), https://prachatai.com/english/node/8755, diakses pada 24 Desember 2021.
Reuters, 'Explainer: What Behind Thailand's Protest?' (Reuters, 20 Oktober 2020), https://www.reuters.com/article/us-thailand-protests-reasons-explainer , diakses pada 26 november 2021.
Comments