top of page
Search

arsMYMA #9

  • Writer: mymafhunair
    mymafhunair
  • Jan 3, 2022
  • 5 min read

Covid-19 dan Tantangan Demokrasi di Indonesia : Pendapat Hukum Tentang Pelaksanaan Demokrasi Pilkada Desember 2020 di Tengah Situasi Pandemic COVID-19


Oleh :

Avany Mahmudah

Staff Divisi Research and Development MYMA FH UNAIR



Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) saat ini tengah melanda berbagai negara di belahan dunia. Transmisi virus ini terjadi antar manusia secara meluas dan cepat. Manusia mendapatkan ancaman serius karenanya, tak terkecuali organisasi super power sekelas negara. COVID-19 tak hanya mempengaruhi aspek kesehatan, melainkan menembus pula kehidupan sosial, perekonomian, hingga pemerintahan. Organisasi Kesehatan Dunia telah mengumumkan COVID-19 sebagai pandemi global sejak 11 Maret 2020. Adanya wabah COVID-19 menjadi sebuah ancaman besar di tengah masyarakat. Angka korban yang tidak kunjung menurun dan cenderung fluktuatif dari hari ke hari membuktikan bahwa peran pemerintah dan kesadaran masyarakat masih sangat kurang. Oleh karenanya, diperlukan peran serta dari semua pihak untuk menyadari betapa pentingnya sebenarnya mematuhi protokol kesehatan yang telah dibuat oleh pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19.


Pembatasan Sosial Berskala Besar (selanjutnya disebut PSBB) meliputi pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi COVID-19 termasuk pembatasan terhadap pergerakan orang dan/atau barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu untuk mencegah penyebaran COVID-19.[1] Selain PSBB untuk merespons adanya pandemic COVID-19 ini, pemerintah Indonesia telah membuat beberapa regulasi. Melalui Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Gugus Tugas yang saat ini diketuai oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dibentuk dalam rangka menangani penyebaran virus COVID-19. Tidak berselang lama, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo kemudian menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 yang mengubah atau merevisi beberapa Pasal dalam Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020. Perpres Nomor 52 tahun 2020 tentang Pembangunan Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan COVID-19 atau Penyakit Infeksi Emerging di Pulau Galang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Kebijakan-kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah ini bertujuan untuk meminimalisir penyebaran COVID-19, tetapi pada kenyataannya belum dapat menangani hingga mengakar.


Dalam situasi yang kalang kabut ini, berdasarkan Pasal 201 ayat (6) UU No. 10 Tahun 2016, Indonesia memiliki agenda untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) di tanggal 23 September 2020. Namun, melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2020, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menjadwalkan ulang pilkada menjadi tanggal 9 Desember 2020. Keputusan ini menimbulkan perdebatan di masyarakat, terutama di kalangan civitas akademika.


“Salus populi suprema lex esto” artinya hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Asas ini mempunyai makna yang berarti keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi. Hak atas kesehatan di instrumen internasional dapat ditemukan di dalam Pasal 12 Konvensi Internasional tentang Hak ekonomi, Sosial, dan Budaya, Pasal 12 Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, dan Pasal 24 Konvensi tentang Hak-Hak Anak. Hak atas Kesehatan juga dijamin dengan adanya Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3) amandemen UUD NDRI 1945, Pasal 9 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Pasal 12 UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Ketentuan dalam UUD NRI 1945 diatas lebih lanjut diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Mempertaruhkan nyawa rakyat untuk kepentingan politik sesaat adalah kejahatan atas kemanusiaan atau crimes against humanity.


Perppu No. 2 Tahun 2020 mengatur 3 perubahan mendasar, yaitu: (1) Pasal 120 yang menyatakan faktor bencana non-alam sebagai alasan penundaan rangkaian pilkada; (2) Pasal 122A berkaitan dengan penundaan dan penetapan pilkada lanjutan ditetapkan berdasarkan kesepakatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI); (3) berdasarkan Pasal 201A, Pilkada yang semula dijadwalkan pada September 2020 ditunda dan dilaksanakan pada bulan Desember 2020 karena alasan bencana non-alam pandemi COVID-19, bila pada bulan Desember 2020 pilkada belum dapat dilaksanakan, maka dapat ditunda kembali sesuai prosedur Pasal 122A. Pasal 201A Perppu tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang memungkinkan adanya penundaan pilkada lanjutan bila kondisi pandemi Covid-19 belum mereda. Hal ini dapat dilakukan berdasarkan kesepakatan KPU, Pemerintah, dan DPR yang dituangkan dalam Penetapan KPU. Kemudian untuk pelaksanaan pilkada lanjutan harus diatur dalam peraturan KPU.


Pandemi COVID-19 memaksa kita untuk membuat norma dan normal baru (memperbarui kebiasaan, tingkah laku, dan berbagai aturan). Bila merujuk pada protokol kesehatan yang telah menjadi rekomendasi WHO dalam menghadapi wabah COVID-19 adalah melakukan proteksi dasar, yang terdiri dari cuci tangan secara rutin dengan alkohol atau sabun dan air, menjaga jarak dengan seseorang yang memiliki gejala batuk atau bersin, melakukan etika batuk atau bersin, dan berobat ketika memiliki keluhan yang sesuai 38 kategori suspek. Rekomendasi jarak yang harus dijaga adalah satu meter.[2] Tentunya hal ini akan menjadi salah satu penghambat di lapangan ketika pilkada dilaksanakan di masa pandemi. Selain itu, membutuhkan persiapan dan tentunya pendanaan yang terbilang tidak kecil untuk menyiapkan dalam jangka waktu yang relatif singkat.


Demokrasi tetap harus dijalankan, tetapi dengan mematuhi dan menjaga protokol serta hak kesehatan masyarakat. Hak kesehatan adalah hak asasi manusia yang muncul karena demokratisasi. [1] Maka, kurang tepat bila hak kesehatan dikorbankan atas nama demokrasi. Pilkada tidak terbatas pada persoalan pemungutan suara, tetapi terdiri dari beberapa rangkaian mulai dari pendaftaran calon, verifikasi data lapangan, kampanye, dan tahapan persiapan lainnya yang berpotensi menimbulkan kerumunan massa. Oleh karena itu, diperlukan pembentukan dan pembaharuan pengetahuan hukum yang didasarkan secara kritis untuk mengubah praktik pilkada di Indonesia.[2] Demokrasi yang berkultur Indonesia haruslah digali untuk menunjukkan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Menurut Satjipto Rahardjo, masih perlu adanya diskursus dan terus membangun Indonesia dengan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai negara hukum yang membahagiakan rakyatnya.


Adanya pemilihan kepala daerah sesungguhnya merupakan hal yang mencederai mereka secara batiniah. Pemerintah masih terus bergulat mengenai masalah politik. Padahal seharusnya, di masa seperti ini, masalah kesehatanlah yang menjadi skala prioritas. Adanya PSBB ditambah lagi aturan pemerintah tentang new normal,[3] atau lebih dikenal dengan adaptasi kebiasaan baru, dirasa masih kurang efektif untuk menghadapi berbagai gejolak yang muncul terkait persoalan ekonomi di tengah masyarakat. Aknolt Kristian Pakpahan mengatakan Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak terutama pada sisi ekonomi. Indonesia yang didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perlu memberikan perhatian khusus terhadap sektor ini karena kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional yang cukup besar.[4]


Apabila alasan untuk tetap menjalankan Pilkada adalah masalah demokrasi, tentu hal tersebut akan dibantah oleh banyak fakta mengenai kemunduran demokrasi di Indonesia. Sebuah media cetak ibukota pada tanggal 24 September memuat berita berjudul “Kuasa Kapital Picu Regresi Demokrasi”, mengutip Prof. Emil Salim yang mengakui, mencatat demokrasi di Indonesia memang mundur, partai politik kehilangan legitimasinya, kekritisan pers dan media yang dalam ancaman, pelemahan institusi demokrasi dan negara hukum salah satunya KPK, serta demokrasi berbasis kekuatan kapital, yang disebutnya sebagai “demokrasi cukong.” Istilah cukong merupakan sinonim dengan kata oligarki yang biasa disebut oleh Jeffrey A. Winters , seorang ilmuwan politik Amerika di Northwestern University yang mengkhususkan diri dalam studi oligarki. Menurutnya, demokrasi di Indonesia yang bertujuan untuk memisahkan kekuasaan dan ekonomi nyatanya justru berjalan ke arah yang sebaliknya. Ia menilai demokrasi Indonesia dikuasai oleh kaum oligarki, sehingga makin jauh dari cita-cita untuk memakmurkan rakyat. Terlebih dalam kondisi pandemi seperti ini, para parpol berusaha keras untuk tetap menyelenggarakan pilkada walau dengan resiko yang tinggi. Pada sengketa tentang pilkada di tengah pandemi ini membuat posisi demokrasi semakin dilematis, state actor (pejabat negara) justru berkonfrontasi dengan non state actor (masyarakat sipil) memperdebatkan model solusi mitigasi atas ancaman nyawa rakyat akibat transmisi pandemi di dalam proses tahapan Pilkada.


Tentu untuk tetap menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi ini tak hanya memperlihatkan ketidakpekaan atas suara rakyat, melainkan pula mengabaikan penyelamatan hak-hak dasar warga yang kini semua sedang berjuang menghadapi pandemi COVID-19. Keputusan tetap melanjutkan tahapan Pilkada merupakan kejahatan negara atas hak-hak asasi manusia karena pembiaran atas pertaruhan korban dan nyawa banyak warga, apalagi di tengah pemerintah yang gagal mengendalikan Pandemi sejak 7 (tujuh) bulan lalu.



---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


[1] Aswandi, & Roisah, 2019

[2] Danardono, Diskursus Hukum Mengenai Pilkada, 2016

[3] Lihat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 440-842 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 440-830 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 Bagi Aparatur Sipil Negara di Lingkungan kementerian dalam negeri dan pemerintah daerah. Diakses 16 juni 2020. Di https://kkp.go.id/an-component/media/upload-gambarpendukung/DitJaskel/publikasi%20materi/5_6246678221455098288%20(1).pdf

[4] Aknolt Kristian Pakpahan, COVID-19 dan Implikasi Bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. journal.UNPAR. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional


 
 
 

Recent Posts

See All
arsMYMA #17

Bentuk Penerapan 16 Hari Anti Kekerasan Seksual Pada Hukum Acara Pidana Oleh : Aisyah Ramadhani Anggota Divisi Research and Development...

 
 
 
arsMYMA #16

Optimalisasi Perlindungan dan Pemenuhan Hak Pekerja Disabilitas Oleh : Shania Vivi Armylia Putri Anggota Divisi Research and Development...

 
 
 
arsMYMA #15

Menilik Tindakan Represif Aparat Mencederai HAM dalam Tragedi Kanjuruhan Disaster Oleh : Indriani Vicky Kartikasari Anggota Divisi...

 
 
 

Comments


Speak and Write For Truth and Justice

bottom of page