Kriminalisasi Delik Trading In Influence dalam Hukum Indonesia
- Ardhana Christian Noventri
- Apr 24, 2020
- 4 min read
Korupsi merupakan kejahatan yang telah berkembang menjadi lintas batas negara, serta mengancam pembangunan dan demokrasi bagi Indonesia. Oleh sebab itu kemudian Pemerintah Indonesia menandatangani United Nations Conventon against Corruption (UNCAC) pada 18 Desember 2003 dan meratifikasinya pada 19 September 2006 melalui UU No. 7 tahun 2006. Peratifikasian konvensi ini dilatarbelakangi terutama oleh kehendak Indonesia untuk menyelaraskan peraturan perundang-undangan Indonesia berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan standar yang ditetapkan dalam UNCAC.
Menilik lebih jauh dalam Pasal 18 UNCAC dapat ditemukan adanya pengaturan mengenai Trading in Influence (Perdagangan Pengaruh) yang pada intinya Trading in Influence adalah perbuatan menjanjikan, menawarkan, atau memberikan suatu keuntungan yang tidak semestinya kepada seseorang (pejabat publik/bukan pejabat publik) yang memiliki akses atau pengaruh ke pejabat publik pembuat keputusan, agar seseorang tersebut menyalahgunakan pengaruh yang dimilikinya atau dianggap dimilikinya, dengan maksud untuk memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya dari administrasi pemerintahan atau kekuasaan umum, untuk kepentingan dirinya sendiri atau orang lain.
Perbuatan pidana Trading in Influence dapat dikatakan mirip dengan perbuatan pidana suap aktif-pasif pada pejabat publik yang sudah diatur dalam UU Tipikor sepanjang ada penyalahgunaan pengaruh (abuse of influence) dan yang melakukan pengaruh/ penjual pengaruh (the influence peddler) adalah pejabat publik. Secara a contrario maka dapat dipahami bahwa tanpa pengaturan spesifik perbuatan pidana Trading in Influence maka pasal-pasal suap dalam UU Tipikor tidak dapat diterapkan. Kapan munculnya Trading in Influence disebutkan dalam penjelasan A Glossary of International Standards by Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) adalah ketika …a person who has real or apparent influence on the decision-making of a public official exchanges this influence for an undue advantage. Selain itu, tujuan dari pengaturan perbuatan pidana Trading in Influence adalah menjaga agar semua orang (tidak harus pejabat namun karena pekerjaan maupun hubungan sosial lainnya seperti teman, kolega, maupun keluarga, atau memiliki hubungan baik lainnya) tidak memperjual belikan pengaruhnya.
Ketika meninjau lebih jauh unsur-unsur Trading in Influence maka terdapat perbedaan yang sangat konkrit antara delik Trading in Influence dengan delik suap. Pertama, penerima suap (dalam hal ini “undue advantage”) dalam Trading in Influence bukanlah si pengambil keputusan (the decision maker on public administration). Jika si pengambil keputusan mengetahui dan mendapatkan keuntungan maka hal ini merupakan suap biasa. Kedua, penerima suap dalam Trading in Influence bukan sebagai orang yang diharapkan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu untuk melanggar kewajiban/ tugas jabatannya. Sebagai pembanding adanya unsur “melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu untuk melanggar kewajiban/ tugas jabatannya” dalam rumusan pasal suap biasa. Ketiga, orang yang mengambil keputusan mungkin tidak menyadari adanya Trading in Influence. Keempat, target pengaturan Trading in Influence bukan pengambil keputusan, namun orang-orang disekitar pemegang keputusan (kekuasaan) yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi dengan jalan mempengaruhi tidak baik (undue influence) si pengambil keputusan dalam administrasi publik. Pada intinya pelaku dalam Trading in Influence adalah “Orang yang menegaskan atau dengan meyakinkan bahwa dia mampu menggunakan pengaruh yang tidak baik (improper influence) terhadap pejabat publik yang akan mengambil suatu keputusan (decision making process)”.
Adapun fakta yang terjadi di Indonesia adanya perbuatan-perbuatan yang diduga merupakan perbuatan Trading in Influence namun tidak bisa diproses lebih lanjut karena tidak adanya norma aturan yang secara spesifik mengatur hal tersebut yang dapat dikatagorikan sebagai permasalahan hukum. Atau perkara tindak pidana korupsi yang selain memenuhi unsur tindak pidana suap senyatanya juga memenuhi delik trading in influence namun dalam dakwaan dan tuntutan hanya di arahkan pada pasal suap karena belum adanya pengaturan Trading in influence dalam hukum pidana Indonesia. Salah satu Trading in Influence yang pernah terjadi ialah terkait kasus penambahan kuota impor daging sapi yang melibatkan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq dengan Direktur Utama PT. Indoguna Utama.
Mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaq divonis 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 1 tahun penjara terkait kasus kuota impor daging sapi. Kasus ini bermula ketika Luthfi bersama rekannya, Ahmad Fathanah, terbukti menerima uang senilai Rp 1,3 miliar dari Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman. Hal ini terkait kepengurusan penambahan kuota impor daging sapi karena perusahaan impor daging sapi harus mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian terkait kuota impor. Uang tersebut diterima Luthfi ketika masih menjabat anggota Komisi I DPR RI dan Presiden PKS.
Dalam kasus tindak pidana korupsi, jaksa menjelaskan bahwa pemberian uang Rp 1,3 miliar tersebut dilakukan agar Luthfi memengaruhi pejabat Kementerian Pertanian sehingga memberikan rekomendasi atas permintaan tambahan kuota impor daging sapi sebanyak 8.000 ton yang diajukan PT Indoguna Utama dan anak perusahaannya. Dalam kasus ini terbukti bahwa Luthfi mempertemukan Menteri Pertanian Suswono dengan Maria Elizabeth Liman di Medan, Sumatera Utara. Hal itu supaya Luthfi memiliki alasan memengaruhi Suswono terkait kebijakan kuota impor daging sapi. Berdasarkan keterangan Elizabeth, uang Rp 1,3 miliar diberikan kepada Luthfi setelah ia dipertemukan dengan Suswono. Luthfi dianggap memperdagangkan pengaruh karena posisinya saat itu sebagai Presiden PKS, sementara Suswono merupakan kader partai tersebut.
Namun yang perlu digarisbawahi bahwa Suswono selaku pembuat keputusan tidak mengetahui dan tidak menerima akan adanya keuntungan tidak semestinya (undue advantage) dari keputusan yang dibuatnya. Berdasarkan fakta yang terjadi dalam kasus tersebut dengan jelas diketahui bahwa Luthfi Hasan Ishaq telah memperdagangkan pengaruhnya kepada Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman. Namun dengan tidak diaturnya delik Trading in Influence dalam hukum Indonesia membuat vonis hakim terhadap pelaku tindak pidana Trading in Influence menjadi tidak sesuai karena dakwaan yang diterapkan tetaplah delik yang tertera dalam hukum positif Indonesia. Dalam hal ini, yakni delik penyuapan sebagaimana tercantum dalam UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam hal inilah dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat sebuah urgensitas ius constituendum untuk menerapkan pengaturan Trading in Influence di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk menjawab permasalahan kekosongan hukum dan menjamin adanya kepastian hukum, supaya adanya tindak pidana Trading In Influence dapat dijerat dengan rumusan pasal yang sesuai. Sejalan dengan sebuah postulat hukum yang dikemukakan oleh Mochtar Kusumaadmaja, bahwa “hukum harus dipandang sebagai sebuah kerangka yang terus menerus mengalami perubahan, hukum bukanlah dogmatika yang bersifat final, hukum akan terus berkembang secara simultan, sesuai dengan perkembangan jamannya”.
Sumber :
UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
Menggagas Perubahan UU Tipikor : Kajian Akademik dan Draft Usulan Perubahan, Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi
Comments